Kamis, 24 Mei 2012

Kekuatan Pengasuhan Guru

Ada kekuatan di balik kata pengasuhan, seperti apa kekuatan itu? Apakah pengasuhan juga termasuk bagian dari kekuatan pembentukan karakter anak-anak? “Generasi ini butuh orang yang bermental pengasuh,” tutur seorang trainer saat penulis mengikuti pelatihannya.
Belakangan ini kampus-kampus yang mencetak para generasi pendidik semakin merebak di mana-mana. Sehingga jumlah lulusan para pendidik baru di salah satu kampus di Jakarta saja setiap tahunnya kurang lebih 11 ribu lulusan yang siap diterjunkan di dunia pendidikan untuk menjadi “GURU”.
Penulis kali ini mengerucutkan kata “Pengasuhan” untuk seorang GURU. Guru haruslah memiliki kekuatan pengasuhan untuk anak didiknya. Pengasuh berbeda dengan pengajar atau pendidik.
Namun, dalam tulisan ini kita tidak akan memperdebatkan 3 kata di atas. Justru, kita para Guru harus mempunyai kesepakatan bersama bahwa kita “Siap mengemban amanah warisan yang diberikan oleh Nabi”. Warisan itu adalah ilmu dan para guru-lah yang punya tanggung jawab secara moral dan profesi untuk mentransformasikan ilmu kepada umat.
Tatkala kita sebagai guru mulai berfikir bagaimana cara Nabi shallalahu alaihi wa sallam mencetak generasi para sahabat di zamannya sehingga menjadi generasi yang berkualitas, maka model generasi seperti itulah yang kita rindukan di zaman sekarang. Ketika kita mulai serius mengkaji sistem dan metode pengajaran Nabi.
Begitupula kalau kita buka lembaran sejarah keemasan peradaban Islam akan muncul nama-nama semisal Umar bin Abdul Aziz, Abdurrahman Ad Dakhil, Sultan Muhammad Al Fatih, dan semua pewaris peradaban di zamannya, kehidupan mereka tidak luput dari keuletan seorang guru yang mengasuh mereka.
Ketika seorang guru yang diamanahi Abdul Aziz, ayah dari Umar bin Abdul Aziz yang ketika itu menjadi gubernur di Mesir, sang guru diberikan kewenangan oleh sang ayah semua yang diperlukan seorang guru sekaligus pengasuh. Semua tindakan yang mengarah kepada proses pendidikan dan kedisiplinan diizinkan untuk diambil selama Umar dalam pengawasannya.
Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz yang masih kecil terlambat untuk datang sholat fardu berjama’ah di masjid, kemudian ditanyakanlah oleh gurunya mengapa ia terlambat dan ia menjawab ”Pembantu saya menyisir rambut saya dahulu.” Gurunya kemudian mengingatkannya, ”Jadi kamu lebih mementingkan menyisir rambutmu dari pada sholat?”
Bukan hanya sebuah teguran yang diberikan sang guru kepada anak didiknya tentang urgensi sholat berjama’ah tepat waktu bagi seorang lelaki akan tetapi laporan tentang kejadian itu segera sampai kepada ayahnya di Mesir. Ayahnya kemudian meminta Umar agar mencukur gundul rambut kepalanya. Akhirnya Umar mematuhi perintah sang ayah untuk mencukur rambutnya, bukan karena semata taat kepada perintah kedua orang tuanya tetapi sebagai bentuk rasa takutnya terhadap panggilan Allah dalam sholat di mana ia hadir terlambat.
Bayangkan hanya masalah rambut, seorang guru begitu perhatiannya untuk mengasuh Umar untuk tidak mengulanginya lagi, yaitu berlama-lama mengurus rambut sehingga melalaikan sholat. Sang guru memberikan sebuah pelajaran syariat tentang keutamaan shalat berjama’ah juga pelajaran tentang hidup berdisiplin.
Ada sesuatu yang penting tetapi ada sesuatu yang jauh lebih penting. Dan itulah pelajaran hidup. Itulah pelajaran yang hanya muncul dari guru yang berjiwa pengasuh, tidak hanya proses transformasi ilmu semata tetapi bagaimana ilmu itu diaplikasikan dalam hidup juga termasuk ilmu yang tak kalah penting.
Maka, kalau kita lihat kondisi sekarang ada beberapa guru yang memilih profesi bekerja menjadi seorang guru berdasarkan “berapa jam ia mengajar dalam satu hari, setelah jam itu berakhir berakhir pula interaksinya bersama anak didik” maka ada sebuah proses yang terputus. Mungkin boro–boro (bahasa Jakarta) mikirin lalainya anak sholat karena rambut, bisa jadi hanya untuk mengenal nama-nama muridnya di kelas ia mengajar saja tidak ingat-ingat sampai lulus. Mengajar hanya sebuah tuntutan profesi agar haknya segera dipenuhi. Kewajiban itu hanya di dalam kelas di waktu jam pelajarannya dan begitu selesailah itu semua begitu selesai.
Nauzubillah, semoga kita bukan tergolong guru yang seperti itu.
Maka dari itu, sangatlah penting keberadaan guru berjiwa pengasuh. Karena pengasuhan lebih bermakna luas daripada pengajaran, ada proses berfikir jauh kedepan bagaimana perkembangan generasi penerus yang berkualitas, ada proses untuk terus membangun manusia berkarakter, ada proses pembinaan akhlak dan ada ikatan yang sangat kuat antara guru sang pemberi dan murid sang pencari .
Sahabatku, mari kita sama-sama saling menjaga semangat untuk tetap menjadi Guru yang mempunyai mental pengasuh. Mari hadirkan dalam diri kita keikhlasan dalam memberikan ilmu kepada anak didik kita. Mari kita perhatikan perkembangan akhlak mereka lebih dari perkembangan otak mereka
Selamat buat para guru, karena guru adalah pekerjaan yang sehat. Karena guru adalah pekerjaan yang mulia, karena guru, kehadirannya dirindukan umat lantaran amanah ilmu yang mereka emban. Karena guru pengasuh yang hebat pasti akan lahir dari tangan mereka generasi yang hebat.
Generasi ini rindu Guru pengasuh yang Hebat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar