Kamis, 24 Mei 2012

Ibu sebagai Guru Pertama dan Utama

Ibu adalah orang yang paling dekat dengan anak dan paling awal dipercaya oleh anak. Selama 9 bulan lebih, Ibu telah mengandung janin (calon anak). Pada saat itu anak mulai menyatu dengan diri dan jiwa ibunya. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan janin sampai ia terlahir ke dunia sangat ditentukan oleh ketulusan dan kesabaran ibunya untuk menjaganya hingga tumbuh menjadi bayi yang sehat.
Setelah anak lahir ke dunia pun, anak sangat tergantung pada ibunya. Sebab diawal kehidupannya, hanya ibunya lah yang bisa memberikan makanan terbaik baginya berupa air susu ibu. Sang anak membutuhkan air susu ibunya selama 2 tahun penuh.
Selain air susu ibu, anak juga sangat butuh akan pelukan ibunya agar memperoleh rasa aman. Hal Inilah ibu menjadi orang yang paling dekat dengan anak dan orang yang paling dipercaya oleh anak.
Oleh karena itu, sejak awal kehidupan anak, ibu adalah orang yang paling menguasai dan memahami pertumbuhan dan perkembangan anak secara detil.
Ibu jugalah orang yang pertama kali mengajak berkomunikasi dengan anak dan juga orang yang pertama memahami cara berkomunikasi anak. Ini semua merupakan potensi besar bagi ibu menjadi guru pertama dan utama bagi anak sejak awal kehidupannya, yakni sejak dalam kandungan.
Sikap dan perilaku ibu menjadi teladan pertama bagi anak. Terlebih lagi Allah SWT telah memfungsikan indera pendengaran anak sejak usia empat bulan dalam kandungan. Sehingga lantunan ayat-ayat Al Qur’an yang sering dibacakan oleh seorang ibu pada saat hamil akan berpengaruh besar bagi pertumbuhan sang anak. Potensi luar biasa ini tidak dimiliki oleh siapapun kecuali ibu. Inilah yang menyebabkan posisi ibu merupakan sosok yang ideal sebagai guru pertama dan utama.
Peran strategis ibu bagi kemajuan bangsa
Adanya keterlibatan setiap  ibu secara sungguh-sungguh dan penuh ketulusan dalam mendidik anak sejak awal kehidupannya sangat menentukan hasil kualitas generasi. Sementara kualitas generasi saat ini sangat menentukan kualitas pemimpin bangsa di masa depan.
Oleh karena itu bila negeri ini ingin mempunyai generasi pemimpin berkualitas yakni,  negarawan-negarawan yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan, keamanan, dan kemuliaan rakyatnya, bahkan negarawan-negarawan yang akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan mulia di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia di masa datang, maka para ibu di negeri ini harus difungsikan peran utamanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya.
Sehingga semua anak di negeri ini terjamin mendapatkan pendidikan yang baik dan kasih sayang yang tulus sejak awal kehidupannya. Selanjutnya akan memudahkan anak untuk tumbuh menjadi anak yang sholeh/sholehah.
Peran strategis ini hendaklah mendapat perhatian dari negara. Sebab hanya negara yang bisa mempunyai kekuatan besar untuk membuat arus deras (massal) di tengah-tengah masyarakat untuk memfokuskan peran ibu sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Apalagi untuk menjalankan peran ini,  para ibu (secara massal) perlu mendapatkan pembekalan yang cukup secara terus-menerus tentang ilmu merawat dan mendidik anak, sehingga setiap ibu mampu menjadi guru bagi anak-anaknya sejak awal kehidupannya.
Tentu saja hal ini membutuhkan dana dan tenaga yang besar. Sehingga tanggung jawab ini hanya layak ditanggung oleh negara, bukan masyarakat apalagi seorang indvidu. Demikian pula para ibu perlu difasilitasi oleh negara agar mereka mudah menjalankan perannya yang strategis ini.
Peran negara terhadap peran strategis ibu sebagai guru pertama dan utama
Adapun wujud peran negara terhadap peran strategis ibu ini mencakup tiga hal yaitu:
Pertama, negara berperan dalam memberikan pembekalan kepada setiap perempuan, baik ibu maupun calon ibu tentang pengetahuan yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai usia, metode pendidikan yang tepat untuk melejitkan perkembangan setiap anak, dan materi pembelajaran yang tepat sesuai usia anak. Pembekalan ini bisa diberikan lewat pendidikan formal maupun non formal.
Kedua, negara berperan mengeluarkan kebijakan khusus kepada perempuan agar mereka hanya bekerja setengah hari atau part time, sehinggga mereka masih bisa menjalankan perannya sebagai ibu secara ideal. Negara juga berperan mengeluarkan kebijakan agar setiap kantor memfasilitasi para ibu bekerja yang sedang menyusui, sehingga sang anak tetap mendapatkan makanan terbaik yang Allah ciptakan bagi sang anak.
Ketiga, negara menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi para suami dan bapak sebagai kepala rumah tangga, sehingga tulang punggung pencari nafkah adalah para suami dan bapak. Dengan demikian perempuan tidak perlu mati-matian bekerja seharian untuk mencukupi kebutuhannya dan anak-anaknya, sehinggga para ibu fokus merawat dan mendidik anak-anaknya menjadi anak yang sholeh.
Bila kita cermati realitas saat ini, masih banyak ibu belum mampu menjalankan perannya, khususnya dalam membina dan mendidik anak-anaknya. Untuk itu hendaknya ada sekelompok kaum muslimin yang senantiasa menyadarkan para ibu betapa pentingnya peran ibu sebagai guru pertama dan utama bagi anak-anaknya, untuk menghasilkan kualitas generasi di masa datang.
Apalagi balasan yang diberikan Allah SWT kepada orang tua yang berhasil mendidik anaknya adalah surga. Selanjutnya mendorong para ibu untuk terus-menerus belajar tentang cara mendidik anak sesuai usianya, sampai mereka mampu dan percaya diri menjalankan fungsi utamanya sebagai guru pertama dan utama bagi anak-anaknya.
“Tidak ada pemberian orangtua kepada anak yang lebih utama daripada pendidikan yang baik” (HR.At-Tirmidzy).
Jika seorang manusia meninggal dunia, putuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shodaqoh jariah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang shaleh (HR.Ahmad dan Muslim).

Kekuatan Pengasuhan Guru

Ada kekuatan di balik kata pengasuhan, seperti apa kekuatan itu? Apakah pengasuhan juga termasuk bagian dari kekuatan pembentukan karakter anak-anak? “Generasi ini butuh orang yang bermental pengasuh,” tutur seorang trainer saat penulis mengikuti pelatihannya.
Belakangan ini kampus-kampus yang mencetak para generasi pendidik semakin merebak di mana-mana. Sehingga jumlah lulusan para pendidik baru di salah satu kampus di Jakarta saja setiap tahunnya kurang lebih 11 ribu lulusan yang siap diterjunkan di dunia pendidikan untuk menjadi “GURU”.
Penulis kali ini mengerucutkan kata “Pengasuhan” untuk seorang GURU. Guru haruslah memiliki kekuatan pengasuhan untuk anak didiknya. Pengasuh berbeda dengan pengajar atau pendidik.
Namun, dalam tulisan ini kita tidak akan memperdebatkan 3 kata di atas. Justru, kita para Guru harus mempunyai kesepakatan bersama bahwa kita “Siap mengemban amanah warisan yang diberikan oleh Nabi”. Warisan itu adalah ilmu dan para guru-lah yang punya tanggung jawab secara moral dan profesi untuk mentransformasikan ilmu kepada umat.
Tatkala kita sebagai guru mulai berfikir bagaimana cara Nabi shallalahu alaihi wa sallam mencetak generasi para sahabat di zamannya sehingga menjadi generasi yang berkualitas, maka model generasi seperti itulah yang kita rindukan di zaman sekarang. Ketika kita mulai serius mengkaji sistem dan metode pengajaran Nabi.
Begitupula kalau kita buka lembaran sejarah keemasan peradaban Islam akan muncul nama-nama semisal Umar bin Abdul Aziz, Abdurrahman Ad Dakhil, Sultan Muhammad Al Fatih, dan semua pewaris peradaban di zamannya, kehidupan mereka tidak luput dari keuletan seorang guru yang mengasuh mereka.
Ketika seorang guru yang diamanahi Abdul Aziz, ayah dari Umar bin Abdul Aziz yang ketika itu menjadi gubernur di Mesir, sang guru diberikan kewenangan oleh sang ayah semua yang diperlukan seorang guru sekaligus pengasuh. Semua tindakan yang mengarah kepada proses pendidikan dan kedisiplinan diizinkan untuk diambil selama Umar dalam pengawasannya.
Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz yang masih kecil terlambat untuk datang sholat fardu berjama’ah di masjid, kemudian ditanyakanlah oleh gurunya mengapa ia terlambat dan ia menjawab ”Pembantu saya menyisir rambut saya dahulu.” Gurunya kemudian mengingatkannya, ”Jadi kamu lebih mementingkan menyisir rambutmu dari pada sholat?”
Bukan hanya sebuah teguran yang diberikan sang guru kepada anak didiknya tentang urgensi sholat berjama’ah tepat waktu bagi seorang lelaki akan tetapi laporan tentang kejadian itu segera sampai kepada ayahnya di Mesir. Ayahnya kemudian meminta Umar agar mencukur gundul rambut kepalanya. Akhirnya Umar mematuhi perintah sang ayah untuk mencukur rambutnya, bukan karena semata taat kepada perintah kedua orang tuanya tetapi sebagai bentuk rasa takutnya terhadap panggilan Allah dalam sholat di mana ia hadir terlambat.
Bayangkan hanya masalah rambut, seorang guru begitu perhatiannya untuk mengasuh Umar untuk tidak mengulanginya lagi, yaitu berlama-lama mengurus rambut sehingga melalaikan sholat. Sang guru memberikan sebuah pelajaran syariat tentang keutamaan shalat berjama’ah juga pelajaran tentang hidup berdisiplin.
Ada sesuatu yang penting tetapi ada sesuatu yang jauh lebih penting. Dan itulah pelajaran hidup. Itulah pelajaran yang hanya muncul dari guru yang berjiwa pengasuh, tidak hanya proses transformasi ilmu semata tetapi bagaimana ilmu itu diaplikasikan dalam hidup juga termasuk ilmu yang tak kalah penting.
Maka, kalau kita lihat kondisi sekarang ada beberapa guru yang memilih profesi bekerja menjadi seorang guru berdasarkan “berapa jam ia mengajar dalam satu hari, setelah jam itu berakhir berakhir pula interaksinya bersama anak didik” maka ada sebuah proses yang terputus. Mungkin boro–boro (bahasa Jakarta) mikirin lalainya anak sholat karena rambut, bisa jadi hanya untuk mengenal nama-nama muridnya di kelas ia mengajar saja tidak ingat-ingat sampai lulus. Mengajar hanya sebuah tuntutan profesi agar haknya segera dipenuhi. Kewajiban itu hanya di dalam kelas di waktu jam pelajarannya dan begitu selesailah itu semua begitu selesai.
Nauzubillah, semoga kita bukan tergolong guru yang seperti itu.
Maka dari itu, sangatlah penting keberadaan guru berjiwa pengasuh. Karena pengasuhan lebih bermakna luas daripada pengajaran, ada proses berfikir jauh kedepan bagaimana perkembangan generasi penerus yang berkualitas, ada proses untuk terus membangun manusia berkarakter, ada proses pembinaan akhlak dan ada ikatan yang sangat kuat antara guru sang pemberi dan murid sang pencari .
Sahabatku, mari kita sama-sama saling menjaga semangat untuk tetap menjadi Guru yang mempunyai mental pengasuh. Mari hadirkan dalam diri kita keikhlasan dalam memberikan ilmu kepada anak didik kita. Mari kita perhatikan perkembangan akhlak mereka lebih dari perkembangan otak mereka
Selamat buat para guru, karena guru adalah pekerjaan yang sehat. Karena guru adalah pekerjaan yang mulia, karena guru, kehadirannya dirindukan umat lantaran amanah ilmu yang mereka emban. Karena guru pengasuh yang hebat pasti akan lahir dari tangan mereka generasi yang hebat.
Generasi ini rindu Guru pengasuh yang Hebat.

Rabu, 09 Mei 2012

UN Generasi Pertama

Ujian Nasional
Insantama Kota Banjar pada tanggal 7 s/d 9 Mei Syukur Alhamdulillah telah Selesai  , semoga para peserta didik lulus dengan menjadi yang terbaik

Kamis, 03 Mei 2012

Sekilas SDIT Insantama


Sekolah SDIT Insantama ,Sekolah  Dasar yang berdiri di Kecamatan Pataruman Kota Banjar, , berada sekitar  pusat kota Banjar kecamatan setempat. Saat ini sekolah itu ada 158 siswa dan 29 orang diantaranya guru,OB,Baby sister dan supir . Selain itu sekolah tersebut juga memiliki tiga tenaga tata usaha.

Gedung SDIT Insantama berdiri di atas lahan seluas 2.100 meter persegi. berstatus swasta yakni sejak  didirikan 2006 dengan nama  SDIT Insantama kemudian pada tahun 2006 langsung melakukan pembangunan secara marathon.
Saat ini SDIT Insantama tersebut telah memiliki berbagai fasilitas seperti, 9 unit ruang belajar, perpustakaan,  dan komputer, mushalla, gudang, tempat parkir guru dan siswa, WC 9 siswa dan 3 guru, serta satu unit mobil antar jemput  sekolah, serta fasiltas catering.

Sebut saja, Hj.Reni Renia Devi S.Kep, M.Keb ,menjadi kepala sekolah itu dari 2006-2008. Selanjutnya, Zaenal Arifin S.Sos.I (2008-Sekarang),
Sekolah SDIT Insantama, mempunyai visi mewujudkan SDIT Insantama Sebagai lembaga pendidikan yang bermutu tinggi dan unggul di Indonesia Sementara misi sekolah SDIT Insantama yakni, menyelenggarakan pendidikan dasar berladaskan Isalam yang memadukan aspek pembentukan kepribadian Islam, dasar-dasar penguasaan tsaqofah Islam dan sains teknologi, dalam suasana budaya pendidikan yang religius serta didukung oleh peran serta orang tua dan masyarakat. Selanjutnya utuk membuat lebih eksis lagi tak lupa juga  dengan membuat motto  ‘”Sekolah Para Juara”,”Beter Education For Better Life”.
Tak lupa juga SDIT Insantama banyak pula prestasi yang diraih sekolah tersebut. Pada tahun 2010 keluar sebagai :

Jumlah siswa: 158 orang
Jumlah guru: 17 orang