Ada kekuatan di balik kata pengasuhan,
seperti apa kekuatan itu? Apakah pengasuhan juga termasuk bagian dari
kekuatan pembentukan karakter anak-anak? “Generasi ini butuh orang yang
bermental pengasuh,” tutur seorang trainer saat penulis mengikuti pelatihannya.
Belakangan ini kampus-kampus yang
mencetak para generasi pendidik semakin merebak di mana-mana. Sehingga
jumlah lulusan para pendidik baru di salah satu kampus di Jakarta saja
setiap tahunnya kurang lebih 11 ribu lulusan yang siap diterjunkan di
dunia pendidikan untuk menjadi “GURU”.
Penulis kali ini mengerucutkan kata
“Pengasuhan” untuk seorang GURU. Guru haruslah memiliki kekuatan
pengasuhan untuk anak didiknya. Pengasuh berbeda dengan pengajar atau
pendidik.
Namun, dalam tulisan ini kita tidak akan
memperdebatkan 3 kata di atas. Justru, kita para Guru harus mempunyai
kesepakatan bersama bahwa kita “Siap mengemban amanah warisan yang
diberikan oleh Nabi”. Warisan itu adalah ilmu dan para guru-lah yang
punya tanggung jawab secara moral dan profesi untuk mentransformasikan
ilmu kepada umat.
Tatkala kita sebagai guru mulai berfikir
bagaimana cara Nabi shallalahu alaihi wa sallam mencetak generasi para
sahabat di zamannya sehingga menjadi generasi yang berkualitas, maka
model generasi seperti itulah yang kita rindukan di zaman sekarang.
Ketika kita mulai serius mengkaji sistem dan metode pengajaran Nabi.
Begitupula kalau kita buka lembaran
sejarah keemasan peradaban Islam akan muncul nama-nama semisal Umar bin
Abdul Aziz, Abdurrahman Ad Dakhil, Sultan Muhammad Al Fatih, dan semua
pewaris peradaban di zamannya, kehidupan mereka tidak luput dari
keuletan seorang guru yang mengasuh mereka.
Ketika seorang guru yang diamanahi Abdul
Aziz, ayah dari Umar bin Abdul Aziz yang ketika itu menjadi gubernur di
Mesir, sang guru diberikan kewenangan oleh sang ayah semua yang
diperlukan seorang guru sekaligus pengasuh. Semua tindakan yang mengarah
kepada proses pendidikan dan kedisiplinan diizinkan untuk diambil
selama Umar dalam pengawasannya.
Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz yang
masih kecil terlambat untuk datang sholat fardu berjama’ah di masjid,
kemudian ditanyakanlah oleh gurunya mengapa ia terlambat dan ia menjawab
”Pembantu saya menyisir rambut saya dahulu.” Gurunya kemudian
mengingatkannya, ”Jadi kamu lebih mementingkan menyisir rambutmu dari
pada sholat?”
Bukan hanya sebuah teguran yang
diberikan sang guru kepada anak didiknya tentang urgensi sholat
berjama’ah tepat waktu bagi seorang lelaki akan tetapi laporan tentang
kejadian itu segera sampai kepada ayahnya di Mesir. Ayahnya kemudian
meminta Umar agar mencukur gundul rambut kepalanya. Akhirnya Umar
mematuhi perintah sang ayah untuk mencukur rambutnya, bukan karena
semata taat kepada perintah kedua orang tuanya tetapi sebagai bentuk
rasa takutnya terhadap panggilan Allah dalam sholat di mana ia hadir
terlambat.
Bayangkan hanya masalah rambut, seorang
guru begitu perhatiannya untuk mengasuh Umar untuk tidak mengulanginya
lagi, yaitu berlama-lama mengurus rambut sehingga melalaikan sholat.
Sang guru memberikan sebuah pelajaran syariat tentang keutamaan shalat
berjama’ah juga pelajaran tentang hidup berdisiplin.
Ada sesuatu yang penting tetapi ada
sesuatu yang jauh lebih penting. Dan itulah pelajaran hidup. Itulah
pelajaran yang hanya muncul dari guru yang berjiwa pengasuh, tidak hanya
proses transformasi ilmu semata tetapi bagaimana ilmu itu diaplikasikan
dalam hidup juga termasuk ilmu yang tak kalah penting.
Maka, kalau kita lihat kondisi sekarang
ada beberapa guru yang memilih profesi bekerja menjadi seorang guru
berdasarkan “berapa jam ia mengajar dalam satu hari, setelah jam itu
berakhir berakhir pula interaksinya bersama anak didik” maka ada sebuah
proses yang terputus. Mungkin boro–boro (bahasa Jakarta)
mikirin lalainya anak sholat karena rambut, bisa jadi hanya untuk
mengenal nama-nama muridnya di kelas ia mengajar saja tidak ingat-ingat
sampai lulus. Mengajar hanya sebuah tuntutan profesi agar haknya segera
dipenuhi. Kewajiban itu hanya di dalam kelas di waktu jam pelajarannya
dan begitu selesailah itu semua begitu selesai.
Nauzubillah, semoga kita bukan tergolong guru yang seperti itu.
Maka dari itu, sangatlah penting
keberadaan guru berjiwa pengasuh. Karena pengasuhan lebih bermakna luas
daripada pengajaran, ada proses berfikir jauh kedepan bagaimana
perkembangan generasi penerus yang berkualitas, ada proses untuk terus
membangun manusia berkarakter, ada proses pembinaan akhlak dan ada
ikatan yang sangat kuat antara guru sang pemberi dan murid sang pencari .
Sahabatku, mari kita sama-sama saling
menjaga semangat untuk tetap menjadi Guru yang mempunyai mental
pengasuh. Mari hadirkan dalam diri kita keikhlasan dalam memberikan ilmu
kepada anak didik kita. Mari kita perhatikan perkembangan akhlak mereka
lebih dari perkembangan otak mereka
Selamat buat para guru, karena guru
adalah pekerjaan yang sehat. Karena guru adalah pekerjaan yang mulia,
karena guru, kehadirannya dirindukan umat lantaran amanah ilmu yang
mereka emban. Karena guru pengasuh yang hebat pasti akan lahir dari
tangan mereka generasi yang hebat.
Generasi ini rindu Guru pengasuh yang Hebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar